Karakteristik Kaum Ghuraba
Dari Abu Hurairah radhiallaahu
'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia
dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba'
(orang-orang yang asing tersebut)". [H.R.Muslim]
KAJIAN BAHASA
1. Lafazh ghariiban ; yang merupakan derivasi (kata turunan)
dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik
seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai
orang asing. Kedua, bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu
bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama
dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di
tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini
bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun
tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa
lainnya tidak demikian.
2. Makna kalimat " bada-al Islamu ghariibaa [Islam
dimulai dalam kondisi asing]" : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang
per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian
akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi
selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia
dimulai.
3. Makna kalimat " fa thuuba lil ghurabaa' [maka
berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut) ] "
: Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba .
Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu 'ain (berbahagia
dan terasa sejuklah di pandang mata); ni'ma maa lahum (alangkah baiknya
apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka);
khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah
(surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua
pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.
INTISARI DAN HUKUM-HUKUM
TERKAIT
1. Hadits tersebut menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat radhiallaahu
'anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam karena karakteristik tentang ghuraba' tersebut
sangat pas buat mereka. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah
bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku
di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
2. Berpegang teguh kepada Dienullah, beristiqamah dalam
menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi kita, Muhammad Shallallâhu
'alaihi wasallam adalah merupakan sifat seorang Mukmin yang haq yang
mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum ghuraba' tersebut
meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang menentangnya.
Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-Haq, bukan kondisi
yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta'ala berfirman: "Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan-Nya..." (Q.S. 6:116).
3. Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta
tingginya kedudukan mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap
agamanya alias mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan
beristiqamah terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri asalnya dan
menjadi asing disana.
4. Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba' adalah
orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat
makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh
manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi
harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih
sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba'
yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar