Bulan
malam ini cukup terang. Ditemani kerlap-kerlip bintang yang menambah keelokan
malam. Kedua anak manusia itu sedang asyik menatap langit indah yang membersamai
mereka bersantai di teras rumah.
“Jumlah
huruf nama lengkap kita sama. Huruf awal dan akhir nama lengkap kita pun sama" Celetuk
zalfa, menoleh ke arah wajah yang teduh disampingnya . Yang ditatap hanya tersenyum
tanpa menoleh sedikitpun, wajahnya masih ke arah langit.
“Siapa
yang tau kalau kita memiliki perasaan yang sama...sebelumnya” sambung Zalfa
sambil menolehkan wajahnya kembali ke arah langit, matanya melirik terhadap
sosok yang tersenyum disampingnya.
“
Memangnya seperti apa perasaanmu sebelumnya?” Tanya fahmi dengan sok penasaran,
sambil menoleh ke Zalfa. Sekarang ganti zalfa yang membalas, wajahnya tetap
menghadap langit,seakan kilau sinar makhluk-makhluk langit itu mengalihkan
perhatiannya.
“Mungkinkah
seperti kisahnya Fathimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib?” Fahmi meneruskan
pertanyaannya.
“Entahlah”
Jawab Zalfa sambil tertawa kecil. Laki-laki itu hanya geleng-geleng kepala
sambil tersenyum.
“Kau
tahu, ketika aku menikah denganmu...” Fahmi memulai pembicaraan lain yang
kelihatan lebih serius.
“Kenapa tak dilanjutkan?” Tanya Zalfa.
“Kenapa tak dilanjutkan?” Tanya Zalfa.
“Kenapa?
Penasaran? Mau tahu aja apa mau gorengan yang lain?” Canda Fahmi.
“Itu
tidak lucu” wanita berjilbab orange disampingnya memasang wajah jutek. Yang
dijuteki merasa puas, merasa berhasil membuat orang yang dicintai penasaran.
“Saat
aku memutuskan untuk menikah. Niatku memang menikah, Fa. Bukan menikah dengan
siapa. Memang jika aku sudah merasa siap kaulah gadis pertama yang ingin aku
lamar, namun jika seandainya saat itu kita belum berjodoh atau mungkin kau
tolak lamaranku, insyaallah aku akan tetap ikhtiar untuk menikah dengan orang
yang Allah pilihkan. Karna niat utamaku memang menikah, bukan menikah dengan
siapa” jelas Fahmi dengan masih tetap memandang bulan. Spontan kedua wajah itu
akhirnya saling menatap. Mata mereka bertemu dengan tatapan wajah serius.
Kemudian tersenyum bersama. Zalfa masih tersenyum namun mengalihkan matanya ke
bawah, pada rumput hijau di depan mereka, masih terlihat basah karna hujan tadi
sore. Laki-laki di sampingnya belum mengalihkan tatapan, sepertinya ia
menemukan wajah yang menawan dan menemukan sinar mata yang lebih indah daripada wajah bulan dan
kilau sinar bintang yang telah mereka pandang dari tadi.
“Hey
kenapa kau tidak membacakan puisimu yang berjudul Bulan dan Bintang saja di
saat seperti ini” Fahmi mengungkapkan ide anehnya. Zalfa tertawa kecil.
“Kenapa
tidak kau saja yang menyanyikan lagunya Maher Zain “Open your eyes” itu lho...”
sahut Zalfa. “Hey sebentar apa maksudmu puisiku yang berjudul Bulan dan Bintang?”
sambung Zalfa.
“Kau
lupa dengan puisi yang kau buat sekitar tahu 2004 saat masih SD?” Fahmi balik
bertanya.
“Itu...kan...Oh
yaa aku pernah membuatnya ya?” wajahnya mencoba mengingat-ingat. “Tapi...kenapa
kau bisa tahu?” sambung Zalfa.
“Itu
puisi ada di buku kecil warna pink bersampul barbie. Isinya tentang catatan
harianmu yang aneh dan juga puisi-puisi aneh yang kau buat” , Fahmi tertawa
kecil.
“Apa?? Aneh?? Bagaimana kau bisa membaca buku
itu?” wajahnya menatap Fahmi, seakan penuh teka-teki.
“Aku
tak sengaja menemukannya di di laci kamarmu,,,maksudku kamar kita” . Wanita
disampingnya berlagak cuek.
“Sudahlah
jangan cemberut begitu, meskipun aneh tapi keren kok” Sambung Fahmi sambil
memamerkan dua jempol tangannya dihadapan istrinya. Zalfa mencoba tersenyum
meski terlihat terpaksa. Fahmi meraih tangan wanita disampingnya “Akan kupegang
agar kau tak terbang terlalu tinggi atas apa yang barusan aku katakan tadi”
canda Fahmi.
“Kalau
aku terbang tinggi, kan bisa kuambilkan bintang itu untukmu” Zalfa merayu.
“Tidak
perlu, kau sudah cukup menjadi bintang di hatiku” Ucap Fahmi sambil melirik
Zalfa.
Zalfa
tersenyum menatap heran suaminya. Ternyata laki-laki itu lebih pandai menggombal
ketimbang dirinya.
“Bagaimana
kalau kita muroja’ah surat Maryam saja” usul Zalfa.
“Kau
hafal?”
“Tentu
saja, aku memintamu untuk menghafalkannya, masak aku sendiri tidak hafal?”
“Hm...Oke”
Fahmi menunduk dan mulai menghafal. Zalfa mendengarkan dengan seksama lantunan
indah tilawah itu.
“Wadzkur fil kitaabi ibrohiim. Innahu kaana…”
sesaat dia menatap mata Zalfa, dan berhenti.
“Shiddiiqon nabiyya.” Zalfa melanjutkan
ayat itu.
Beberapa menit kemudian mereka menyelesaikan muro’jaah ayat-ayat
illahi tersebut. Ayat-ayat yang membawa ketentraman di hati mereka.
“Alhamdulillah,
ye, ye, ye! Aku hafal!” semacam anak SD
dapat rangking, Zalfa kegirangan berseru sambil tepuk tangan sendiri. Untuk dirinya sendiri. Fahmi
tersenyum . Dia sadar, inilah Zalfa, yang selama ini dikenal selalu riang,
meski tetap santun dan anggun.
“Kamu mencintaiku?” pertanyaan
yang tiba-tiba terucap cukup mengagetkan dilontarkan Fahmi.
“Bagaimana jika tidak?”, yang
ditanya justru menjawab dengan pertanyaan.
Fahmi terdiam mendengar jawaban
dari wanita yang baru ia nikahi 2 hari yang lalu. Kedua anak manusia itu masih memandang jauh ke arah yang sama, ke
arah bintang-bintang yang cantik gemerlapan dengan sinar terangnya, terdiam sejenak dan mengambil nafas panjang.
“Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika ternyata
aku belum jatuh cinta padamu?” Zalfa menegaskan pertanyaannya dengan mata
beningnya yang menyala menatap laki-laki
disampingnya yang terlihat serius.
Fahmi bingung, apakah dia harus
menjawab pertanyaan itu. Jika ya, dia
pun tidak tahu apa jawabannya. Maka,
dia hanya tersenyum, menahan gemuruh hatinya agar jangan sampai menjadi
halilintar yang menyambar bahagianya malam ini.
“Aku harus mencintaimu, itu
yang kutahu. Bahwa aku harus menjadi pendampingmu yang setia, berbakti
kepadamu, begitu Tuhan memerintahkanku. Maka sejak aku mengiyakanmu, sejak itu
aku memutuskan untuk mencintaimu” , ucap Zalfa.
Tangannya sangat dingin,
mengenggam lembut tangan suaminya.
“Tak usah kau risau. Selama aku masih ingat cinta Tuhanku, aku akan bahagia insyaAllah. Dan aku akan terus berusaha menepati janjiku untuk mencintai suamiku,” sambung Zalfa.
“Tak usah kau risau. Selama aku masih ingat cinta Tuhanku, aku akan bahagia insyaAllah. Dan aku akan terus berusaha menepati janjiku untuk mencintai suamiku,” sambung Zalfa.
Mereka seakan tenggelam
dalam keheningan itu. Lalu ada kilatan
bening di matanya yang masih menatap Fahmi.
“Maka berjanjilah, untuk menjadi penjaga ketaatanku pada-Nya. Agar aku selalu mencintaimu…dengan cinta-Nya…” Zalfa melanjutkan kalimatnya. Fahmi tersenyum, seperti ada angin sejuk yang membawa ketentraman di hatinya. Dia usap butiran bening di wajah istrinya.
Malam memang semakin gelap.
Tapi serasa tak habis cahaya yang terangnya
membuat hati mereka merasa tenteram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar