Sabtu, 01 Februari 2014

Dua Hati Menyatu


Bulan malam ini cukup terang. Ditemani kerlap-kerlip bintang yang menambah keelokan malam. Kedua anak manusia itu sedang asyik menatap langit indah yang membersamai mereka bersantai di teras rumah.

“Jumlah huruf nama lengkap kita sama. Huruf awal dan akhir nama lengkap kita pun sama" Celetuk zalfa, menoleh ke arah wajah yang teduh disampingnya . Yang ditatap hanya tersenyum tanpa menoleh sedikitpun, wajahnya masih ke arah langit.

“Siapa yang tau kalau kita memiliki perasaan yang sama...sebelumnya” sambung Zalfa sambil menolehkan wajahnya kembali ke arah langit, matanya melirik terhadap sosok yang tersenyum disampingnya.

“ Memangnya seperti apa perasaanmu sebelumnya?” Tanya fahmi dengan sok penasaran, sambil menoleh ke Zalfa. Sekarang ganti zalfa yang membalas, wajahnya tetap menghadap langit,seakan kilau sinar makhluk-makhluk langit itu mengalihkan perhatiannya.

“Mungkinkah seperti kisahnya Fathimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib?” Fahmi meneruskan pertanyaannya.

“Entahlah” Jawab Zalfa sambil tertawa kecil. Laki-laki itu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

“Kau tahu, ketika aku menikah denganmu...” Fahmi memulai pembicaraan lain yang kelihatan lebih serius.

 “Kenapa tak dilanjutkan?” Tanya Zalfa.

“Kenapa? Penasaran? Mau tahu aja apa mau gorengan yang lain?” Canda Fahmi.

“Itu tidak lucu” wanita berjilbab orange disampingnya memasang wajah jutek. Yang dijuteki merasa puas, merasa berhasil membuat orang yang dicintai penasaran.

“Saat aku memutuskan untuk menikah. Niatku memang menikah, Fa. Bukan menikah dengan siapa. Memang jika aku sudah merasa siap kaulah gadis pertama yang ingin aku lamar, namun jika seandainya saat itu kita belum berjodoh atau mungkin kau tolak lamaranku, insyaallah aku akan tetap ikhtiar untuk menikah dengan orang yang Allah pilihkan. Karna niat utamaku memang menikah, bukan menikah dengan siapa” jelas Fahmi dengan masih tetap memandang bulan. Spontan kedua wajah itu akhirnya saling menatap. Mata mereka bertemu dengan tatapan wajah serius. Kemudian tersenyum bersama. Zalfa masih tersenyum namun mengalihkan matanya ke bawah, pada rumput hijau di depan mereka, masih terlihat basah karna hujan tadi sore. Laki-laki di sampingnya belum mengalihkan tatapan, sepertinya ia menemukan wajah yang menawan dan menemukan sinar  mata yang lebih indah daripada wajah bulan dan kilau sinar bintang yang telah mereka pandang dari tadi.

“Hey kenapa kau tidak membacakan puisimu yang berjudul Bulan dan Bintang saja di saat seperti ini” Fahmi mengungkapkan ide anehnya. Zalfa tertawa kecil.

“Kenapa tidak kau saja yang menyanyikan lagunya Maher Zain “Open your eyes” itu lho...” sahut Zalfa. “Hey sebentar apa maksudmu puisiku yang berjudul Bulan dan Bintang?” sambung Zalfa.

“Kau lupa dengan puisi yang kau buat sekitar tahu 2004 saat masih SD?” Fahmi balik bertanya.

“Itu...kan...Oh yaa aku pernah membuatnya ya?” wajahnya mencoba mengingat-ingat. “Tapi...kenapa kau bisa tahu?” sambung Zalfa.

“Itu puisi ada di buku kecil warna pink bersampul barbie. Isinya tentang catatan harianmu yang aneh dan juga puisi-puisi aneh yang kau buat” , Fahmi tertawa kecil.

 “Apa?? Aneh?? Bagaimana kau bisa membaca buku itu?” wajahnya menatap Fahmi, seakan penuh teka-teki.

“Aku tak sengaja menemukannya di di laci kamarmu,,,maksudku kamar kita” . Wanita disampingnya berlagak cuek.  

“Sudahlah jangan cemberut begitu, meskipun aneh tapi keren kok” Sambung Fahmi sambil memamerkan dua jempol tangannya dihadapan istrinya. Zalfa mencoba tersenyum meski terlihat terpaksa. Fahmi meraih tangan wanita disampingnya “Akan kupegang agar kau tak terbang terlalu tinggi atas apa yang barusan aku katakan tadi” canda Fahmi.

“Kalau aku terbang tinggi, kan bisa kuambilkan bintang itu untukmu” Zalfa merayu.

“Tidak perlu, kau sudah cukup menjadi bintang di hatiku” Ucap Fahmi sambil melirik Zalfa.

Zalfa tersenyum menatap heran suaminya. Ternyata laki-laki itu lebih pandai menggombal ketimbang dirinya.

“Bagaimana kalau kita muroja’ah surat Maryam saja” usul Zalfa.

“Kau hafal?”

“Tentu saja, aku memintamu untuk menghafalkannya, masak aku sendiri tidak hafal?”

“Hm...Oke”

Fahmi  menunduk dan mulai menghafal.  Zalfa mendengarkan dengan seksama lantunan indah tilawah itu.

Wadzkur fil kitaabi ibrohiim. Innahu kaana…” sesaat dia menatap mata Zalfa, dan berhenti.

Shiddiiqon nabiyya.” Zalfa melanjutkan ayat itu. 

Beberapa menit kemudian mereka menyelesaikan muro’jaah ayat-ayat illahi tersebut. Ayat-ayat yang membawa ketentraman di hati mereka.

“Alhamdulillah, ye, ye, ye! Aku hafal!”  semacam anak SD dapat rangking, Zalfa kegirangan berseru sambil  tepuk tangan sendiri. Untuk dirinya sendiri. Fahmi tersenyum . Dia sadar, inilah Zalfa, yang selama ini dikenal selalu riang, meski tetap santun dan anggun.

“Kamu mencintaiku?” pertanyaan yang tiba-tiba terucap cukup mengagetkan dilontarkan Fahmi.

“Bagaimana jika tidak?”, yang ditanya justru menjawab dengan pertanyaan.

Fahmi terdiam mendengar jawaban dari wanita yang baru ia nikahi 2 hari yang lalu. Kedua anak manusia itu  masih memandang jauh ke arah yang sama, ke arah bintang-bintang yang cantik gemerlapan dengan sinar terangnya, terdiam  sejenak dan mengambil nafas panjang.

“Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika ternyata aku belum jatuh cinta padamu?” Zalfa menegaskan pertanyaannya dengan mata beningnya yang menyala  menatap laki-laki disampingnya yang terlihat serius. 

Fahmi bingung, apakah dia harus menjawab pertanyaan itu.  Jika ya, dia pun tidak tahu apa jawabannya. Maka, dia hanya tersenyum, menahan gemuruh hatinya agar jangan sampai menjadi halilintar yang menyambar bahagianya malam ini.

“Aku harus mencintaimu, itu yang kutahu. Bahwa aku harus menjadi pendampingmu yang setia, berbakti kepadamu, begitu Tuhan memerintahkanku. Maka sejak aku mengiyakanmu, sejak itu aku memutuskan untuk mencintaimu” , ucap Zalfa.

Tangannya sangat dingin, mengenggam lembut tangan suaminya.

“Tak usah kau risau. Selama aku masih ingat cinta Tuhanku, aku akan bahagia insyaAllah. Dan aku akan terus berusaha menepati janjiku untuk mencintai suamiku,” sambung Zalfa.

Mereka seakan tenggelam dalam  keheningan itu. Lalu ada kilatan bening di matanya yang masih menatap Fahmi.

“Maka berjanjilah, untuk menjadi penjaga ketaatanku pada-Nya. Agar aku selalu mencintaimu…dengan cinta-Nya…”  Zalfa melanjutkan kalimatnya. Fahmi tersenyum, seperti ada angin sejuk yang membawa ketentraman di hatinya. Dia usap butiran bening di wajah istrinya.

Malam memang semakin gelap. Tapi serasa tak habis cahaya yang terangnya membuat hati mereka  merasa tenteram.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar