Kamis, 30 Januari 2014

Ghuraba


Karakteristik Kaum Ghuraba
Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut)". [H.R.Muslim]

KAJIAN BAHASA
1.    Lafazh ghariiban ; yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.
2.    Makna kalimat " bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai dalam kondisi asing]" : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.
3.    Makna kalimat " fa thuuba lil ghurabaa' [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut) ] " : Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba . Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu 'ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni'ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.

INTISARI DAN HUKUM-HUKUM TERKAIT
1.    Hadits tersebut menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat radhiallaahu 'anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam karena karakteristik tentang ghuraba' tersebut sangat pas buat mereka. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
2.    Berpegang teguh kepada Dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi kita, Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah merupakan sifat seorang Mukmin yang haq yang mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum ghuraba' tersebut meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-Haq, bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya..." (Q.S. 6:116).
3.    Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta tingginya kedudukan mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap agamanya alias mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan beristiqamah terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri asalnya dan menjadi asing disana.
4.    Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba' adalah orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba' yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin.


Siapa Idola Kita?


Bila kita memperhatikan fenomena dan gejala yang memasyarakat saat ini di dalam mencari panutan atau lebih trend lagi dengan sebutan “sang idola”, maka kita akan menemukan hal yang sangat kontras dengan apa yang terjadi pada abad-abad terdahulu. Kalau dulu, orang begitu mengidolakan manusia-manusia pilihan dan berakhlaq mulia di kalangan mereka seperti para ulama dan orang-orang yang shalih. Maka, kondisi itu sekarang sudah berubah total. Orang-orang sekarang cenderung menjadikan manusia-manusia yang tidak karuan dari segala aspeknya sebagai idola. Mereka mengidolakan para pemain sepakbola, kaum selebritis, paranormal dan tokoh-tokoh maksiat pada umumnya. Anehnya, hal ini didukung oleh keluarga bahkan diberi spirit sedemikian rupa agar anaknya kelak bisa menjadi si fulanah yang artis, atau si fulan yang pemain sepakbola dan seterusnya. Lebih aneh lagi bahwa mereka berbangga-bangga dengan hal itu.

Tentunya ini sangat ironis karena sebagai umat Islam yang mayoritas seharusnya mereka harus memahami ajaran agama secara benar sehingga tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang di dalamnya. Ketidaktahuan akan ajaran agama ini akan berimplikasi kepada masa depan mereka kelak karena ini menyangkut keselamatan dan ketentraman mereka di dalam meniti kehidupan di dunia ini.
Bahkan pada sebagian masyarakat kita, telah muncul gejala yang lebih serius dan mengkhawatirkan lagi, yaitu pengkultusan terhadap sosok yang dianggap sebagai tokoh tanpa menyelidiki terlebih dahulu sisi ‘aqidah dan akhlaqnya. Tokoh idola ini diikuti semua perkataan dan ditiru semua perbuatannya tanpa ditimbang-timbang lagi, apakah yang dikatakan atau dilakukan itu benar atau salah menurut agama bahkan sebaliknya, perkataan dan perbuatannya justru menjadi acuan benar tidaknya menurut agama…naûdzu billâhi min dzâlik.

Yang lebih memilukan lagi, sang idola yang tidak ketahuan juntrungannya tersebut memposisikan dirinya sebagaimana yang dianggap oleh para pengidolanya. Mereka berlagak sebagai manusia-manusia suci pada momen-momen yang memang suci seperti pada bulan Ramadhan, hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adlha. Mereka diangkat sedemikian rupa oleh mass media dan media visual maupun audio visual seperti surat kabar, majalah, internet, radio dan televisi.Pada momen-momen tersebut, mereka seakan mengisi semua hari-hari para pengidola bahkan non pengidolapun tak luput dari itu. Mereka menganggap bahwa diri merekalah yang paling mengetahui apa yang harus dilakukan secara agama pada momen-momen tersebut. Maka dipersembahkanlah berbagai tayangan program dan acara untuk menyemarakkan syi’ar bulan Ramadhan tersebut – menurut anggapan mereka- . Tampak, pada momen-momen tersebut mereka seakan menjadi manusia paling suci dan panutan semua… Yah! Untuk sesaat saja!.

Sesungguhnya, apa yang mereka lakukan itu tak lain hanyalah racun yang dipaksakan kepada ummat untuk diteguk, mulai dari racun dengan reaksi lambat, sedang bahkan cepat tergantung kepada daya tahan dan tingkat kekebalan peneguknya.
Selanjutnya, akankah kita membiarkan anggota keluarga kita meneguk racun-racun tersebut, baru kemudian menyesali apa yang telah terjadi?.
Maka untuk mengetahui siapa yang seharusnya dijadikan sebagai idola oleh seorang Muslim dan bagaimana implikasi-implikasinya?. Kajian hadits kali ini sengaja mengangkat tema tersebut, mengingat hampir semua rumah kaum Muslimin telah dimasuki oleh salah satu atau kebanyakan mass media dan media tersebut.
Semoga kita belum terlambat untuk menyelamatkan keluarga kita sehingga racun-racun tersebut dapat dilenyapkan dan dimusnahkan.

HADITS
Dari Abu Wâ-il dari ‘Abdullah (bin Mas’ud), dia berkata: “seorang laki-laki datang kepada Rasulullah sembari berkata: ‘wahai Rasulullah! Apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang mencintai suatu kaum padahal dia belum pernah (sama sekali) berjumpa dengan mereka?’. Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “seseorang itu adalah bersama orang yang dia cintai”. (H.R.Muslim)

TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhâry, at-Turmuzy, an-Nasaiy, Abu Daud, Ahmad dan ad-Darimy.

PENJELASAN HADITS
Di dalam riwayat yang lain, disebutkan dengan lafazh “Engkau bersama orang yang engkau cintai”. Demikian pula dengan hadits yang maknanya: “Ikatan Islam yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”.

Anas bin Malik mengomentarinya: “Setelah keislaman kami, tidak ada lagi hal yang membuat kami lebih gembira daripada ucapan Rasulullah: ‘engkau bersama orang yang engkau cintai’ ”. Lalu Anas melanjutkan: “Kalau begitu, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya, Abu Bakar serta ‘Umar. Aku berharap kelak dikumpulkan oleh Allah bersama mereka meskipun aku belum berbuat seperti yang telah mereka perbuat”.

Imam an-Nawawy, setelah menyebutkan beberapa hadits terkait dengan hadits diatas, menyatakan: “Hadits ini mengandung keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya, orang-orang yang shalih, orang-orang yang suka berbuat kebajikan baik yang masih hidup atau yang telah mati. Dan diantara keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan keduanya serta berakhlaq dengan akhlaq islami. Di dalam mencintai orang-orang yang shalih tidak mesti mengerjakan apa saja yang dikerjakannya sebab bila demikian halnya maka berarti dia adalah termasuk kalangan mereka atau seperti mereka. Pengertian ini dapat diambil dari hadits setelah ini, yakni (ucapan seseorang yang bertanya tentang pendapat beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengenai) seseorang yang mencintai suatu kaum sementara dia tidak pernah sama sekali bertemu dengan mereka (seperti yang tersebut di dalam hadits diatas-red)…”.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah mengaitkan makna cinta tersebut selama seseorang itu mencintai Allah dan Rasul-Nya sebab orang yang mencintai Allah, maka dia pasti mencintai para Nabi-Nya karena Dia Ta’ala mencintai mereka dan mencintai setiap orang yang meninggal di atas iman dan taqwa. Maka mereka itulah Awliyâ Allah (para wali Allah) yang Allah cintai seperti mereka yang dipersaksikan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam masuk surga, demikian pula dengan Ahli Badar dan Bai’ah ar-Ridlwan. Jadi, siapa saja yang telah dipersaksikan oleh Rasulullah masuk surga, maka kita bersaksi untuknya dengan hal ini sedangkan orang yang tidak beliau persaksikan demikian, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama; sebagian ulama mengatakan: ‘tidak boleh dipersaksikan bahwa dia masuk surga dan kita juga tidak bersaksi bahwa Allah mencintainya’. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan: ‘justeru orang yang memang dikenal keimanan dan ketakwaannya di kalangan manusia serta kaum Muslimin telah bersepakat memuji mereka seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashry, Sufyan ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’iy, Ahmad, Fudlail bin ‘Iyadl, Abu Sulaiman ad-Darany (al-Kurkhy), ‘Abdullah bin Mubarak dan selain mereka, kita mesti bersaksi bahwa mereka masuk surga’.

Diantara dalil yang digunakan oleh kelompok kedua ini adalah hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah melewati suatu jenazah lalu mereka memujinya dengan kebaikan, maka beliau berkata: “pasti, pasti”. Kemudian lewat lagi suatu jenazah lalu mereka bersaksi untuknya dengan kejelekan, maka beliau berkata: “pasti, pasti”. Mereka lantas bertanya: “wahai Rasulullah! Apa maksud ucapanmu : ‘pasti, pasti tersebut ?’. beliau menjawab: “jenazah ini kalian puji dengan kebaikan, maka aku katakan: ‘pasti ia masuk surga’. Dan jenazah satunya, kalian bersaksi dengan kejelekan untuknya, maka aku katakan: ‘pasti dia masuk neraka’. Lalu ada yang bertanya kepada beliau: “bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “dengan pujian baik atau jelek”.

Klasifikasi Mahabbah (Kecintaan)
Mahabbah ada beberapa jenis:
Pertama, al-Mahabbah Lillâh (kecintaan karena Allah) ; jenis ini tidak menafikan tauhid kepada-Nya bahkan sebagai penyempurna sebab ikatan keimanan yang paling kuat adalah kecintaan karena Allah dan kebencian karena Allah.
Refleksi dari kecintaan karena Allah adalah bahwa kita mencintai sesuatu karena Allah Ta’ala mencintainya baik ia berupa orang atau pekerjaan, dan inilah yang merupakan penyempurna keimanan.
Diantara contoh yang menjelaskan perbedaan antara kecintaan kepada Allah dan selain Allah adalah antara apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Abu Thalib; Abu Bakar mencintai Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam karena semata-mata mengharap ridla Allah sedangkan Abu Thalib, paman Nabi mencintai diri beliau dan membelanya karena mengikuti hawa nafsunya bukan karena Allah sehingga Allah menerima amal Abu Bakar dan tidak menerima amal Abu Thalib.
Kedua, al-Mahabbah ath-Thabî’îyyah (kecintaan yang alami) dimana seseorang tidak mendahulukannya dari kecintaannya kepada Allah ; jenis ini juga tidak menafikan kecintaan kepada Allah. Contohnya adalah seperti kecintaan terhadap isteri, anak dan harta.
Oleh karena itu, tatkala Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam ditanyai tentang siapa manusia yang paling engkau cintai?. Beliau menjawab: ‘Aisyah. Lalu beliau ditanyai lagi: dari kalangan laki-laki siapa?. Beliau menjawab: ayahnya (yakni Abu Bakar).
Demikian juga kecintaan seseorang kepada makanan, pakaian dan selain keduanya yang bersifat alami.
Ketiga, al-Mahabbah ma’a Allah (kecintaan berbarengan dengan kecintaan kepada Allah) yang menafikan tauhid kepada-Nya; yaitu menjadikan kecintaan kepada selain Allah seperti kecintaan kepada-Nya atau melebihinya dimana bila kedua kecintaan itu saling bertolak belakang, seseorang lebih mengutamakan kecintaan kepada selain-Nya ketimbang kepada-Nya. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang menjadikan kecintaan tersebut sebagai sekutu bagi Allah yang lebih diutamakannya atas kecintaan kepada-Nya atau –paling tidak- menyamainya.

Diantara contoh kecintaan kepada selain Allah adalah seperti kecintaan kaum Nashrani terhadap ‘Isa al-Masih 'alaihissalâm, kecintaan kaum Yahudi terhadap Musa 'alaihissalâm, kecintaan kaum Syi’ah Rafidlah terhadap ‘Aly radliallâhu 'anhu, kecintaan kaum Ghulât (orang-orang yang melampaui batas dan berlebih-lebihan) terhadap para syaikh dan imam mereka seperti orang yang menunjukkan loyalitas terhadap seorang Syaikh atau Imam dan menghasut orang lain agar menjauhi orang yang dianggap rival atau saingannya padahal masing-masing mereka hampir sama atau sama di dalam kedudukan dan kualitas kelimuan. Ini sama dengan kondisi Ahlul Kitab yang beriman kepada sebagian Rasul dan kufur kepada sebagian yang lain; kondisi kaum Syi’ah Rafidlah yang menunjukkan loyalitas terhadap sebagian shahabat dan memusuhi sebagian besar yang lainnya, demikian pula kondisi orang-orang yang fanatik dari kalangan Ahli Fiqih dan Zuhud yang menunjukkan sikap loyalitas terhadap para syaikh dan imam mereka dengan menganggap remeh orang-orang selain mereka yang sebenarnya hampir sama atau selevel dengan para syaikh dan imam mereka tersebut. Seorang Mukmin sejati adalah orang yang menunjukkan loyalitas terhadap semua orang yang beriman sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”.

Perbedaan Antara Klasifikasi Pertama Dan Ketiga
Perbedaan antara klasifikasi pertama, yakni al-Mahabbah lillâh (kecintaan karena Allah) dan klasifikasi ketiga, yakni al-Mahabbah ma’a Allah (kecintaan berbarengan dengan kecintaan kepada Allah) tampak jelas sekali, yaitu;
- bahwa Ahli syirik menjadikan sekutu-sekutu yang mereka cintai sama seperti kecintaan mereka kepada Allah bahkan lebih,
- sedangkan orang-orang yang beriman dan ahli iman sangat mencintai Allah, ini dikarenakan asal kecintaan mereka adalah mencintai Allah dan barangsiapa yang mencintai Allah, maka dia akan mencintai orang yang dicintai oleh Allah; dan barangsiapa yang dicintai oleh-Nya, maka dia akan mencintai-Nya. Jadi, orang yang dicintai oleh orang yang dicintai oleh Allah adalah dicintai oleh Allah karena dia mencintai Allah; barangsiapa yang mencintai Allah, maka Allah akan mencintainya sehingga kemudian dia mencintai orang yang dicintai oleh-Nya.

Urgensi Mencintai Allah dan Rasul-Nya
Kewajiban pertama seorang hamba adalah mencintai Allah Ta’ala karena merupakan jenis ibadah yang paling agung sebagaimana firman-Nya : “Dan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah”. (Q,.s.al-Baqarah/01: 165). Hal ini dikarenakan Dia Ta’ala adalah Rabb yang telah berkenan memberikan kepada semua hamba-Nya nikmat-nikmat yang banyak baik secara lahir maupun bathin.
Kewajiban berikutnya adalah mencintai Rasul-Nya, Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam sebab beliaulah yang mengajak kepada Allah, memperkenalkan-Nya, menyampaikan syari’at-Nya serta menjelaskan kepada manusia hukum-hukum-Nya. Jadi, semua kebaikan yang didapat oleh seorang mukmin di dunia dan akhirat semata adalah berkat perjuangan Rasulullah. Seseorang tidak akan masuk surga kecuali bila ta’at dan mengikuti beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam .

Di dalam hadits yang lain disebutkan: “Tiga hal yang bila ada pada seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman; (pertama)bahwa dia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain keduanya; (kedua) dia mencintai seseorang hanya karena Allah; (ketiga) dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah darinya sebagaimana dia benci dirinya dicampakkan ke dalam api neraka”. (Hadits Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hal ini, mencintai Rasulullah yang menempati peringkat kedua merupakan sub-ordinasi dan konsekuensi dari mencintai Allah Ta’ala. Khusus dengan kewajiban mencintai Rasulullah dan mendahulukannya atas kecintaan terhadap siapapun dari Makhluk Allah, terdapat hadits beliau yang berbunyi (artinya) : “Tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga aku menjadi orang yang paling dicintainya daripada anaknya, ayahnya serta seluruh manusia”. (Hadits Muttafaqun ‘alaih).

Lebih dari itu, hendaknya kecintaannya terhadap Rasulullah melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri sebagaimana disebutkan di dalam hadits bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radliallâhu 'anhu pernah berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu selain daripada diriku”. Lalu beliau bersabda: “demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga engkau jadikan aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Lantas ‘Umar berkata kepada beliau: “Kalau begitu, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Beliau berkata kepadanya: “Sekaranglah, wahai ‘Umar!”. (H.R.Bukhary).

Imam Ibn al-Qayyim berkata: “Setiap mahabbah (kecintaan) dan pengagungan terhadap manusia hanya boleh menjadi sub-ordinasi dari kecintaan kepada Allah dan pengagungan terhadap-Nya, yaitu seperti kecintaan kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dan pengagungan terhadapnya karena hal ini merupakan sarana penyempurna kecintaan terhadap utusan-Nya dan pengagungan terhadap-Nya. Sesungguhnya, umat mencintai Rasul mereka karena kecintaan Allah, pengagungan-Nya serta pemuliaan-Nya terhadap dirinya. Inilah bentuk kecintaan yang merupakan konsekuensi dari kecintaan kepada Allah”.

Implikasi Dari Kecintaan Kepada Selain Allah Dan Rasul-Nya Yang Berlebihan
Dimuka telah dijelaskan bahwa kita sangat menginginkan agar dikumpulkan bersama orang-orang yang kita cintai, yaitu orang-orang yang shalih dan dikenal ketaqwaannya. Sementara itu menurut satu pendapat, juga kita dibolehkan bersaksi untuk orang yang memang dikenal oleh kalangan luas ketaqwaan dan keshalihannya serta umat telah bersepakat memujinya seperti imam-imam madzhab yang empat.Di samping itu, telah disebutkan bahwa ada dua pendapat terkait dengan persaksian masuk surga terhadap orang yang belum dipersaksikan demikian oleh Rasulullah dimana salah satu pendapat berdalil dengan salah satu sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam yang memberikan kriteria, yaitu adanya pujian baik dan jelek dari manusia.

Dari sini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah bahwa sebenarnya banyak di kalangan para syaikh yang terkenal di masa beliau yang bisa jadi bukan orang berilmu, bahkan melakukan amalan sesat, kemaksiatan dan dosa-dosa yang menghalangi diri mereka dari persaksian orang terhadap mereka dengan kebaikan. Bahkan bisa jadi, diantara mereka ada orang Munafiq dan Fasiq, juga tidak menutup kemungkinan ada orang yang termasuk wali-wali Allah yang benar-benar bertaqwa dan beramal shalih serta termasuk hizb-Nya yang mendapatkan kemenangan. Disamping itu, ada pula kelompok manusia selain para syaikh tersebut yang dikategorikan sebagai para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa -dimana mereka itu masuk surga - seperti para pedagang, petani dan selain mereka dari kelas sosial lainnya yang ada di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, menurut Syaikhul Islam, barangsiapa yang meminta agar kelak dikumpulkan dengan seorang Syaikh yang dia tidak tahu bagaimana akhir hidupnya maka dia telah sesat, bahkan seharusnya dia meminta agar dikumpulkan oleh Allah dengan orang yang dia ketahui akhir hidupnya yaitu para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q,.s. 66/at-Tahrim: 4).
Di dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Q,.s. 5/al-Ma-idah: 55). Demikian pula di dalam firman-Nya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q,.s. 5/al-Ma-idah: 56).

Maka, berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, kembali menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, siapa saja yang mencintai seorang Syaikh/tuan guru yang menyelisihi syari’at, maka dia kelak akan bersamanya; bila si Syaikh dimasukkan ke dalam neraka, maka dia akan bersamanya disana. Sebab secara lumrah sudah diketahui bahwa para Syaikh yang menyimpang dan menyelisihi Kitabullah dan as-Sunnah adalah orang-orang yang sesat dan jahil, karenanya; barangsiapa yang bersama mereka, maka jalan akhir dari kehidupannya adalah sama seperti jalan akhir dari kehidupan orang-orang tersebut (ahli kesesatan dan kejahilan). Sedangkan mencintai orang yang termasuk para wali Allah yang bertaqwa seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aly dan selain mereka adalah merupakan ikatan keimanan yang paling kokoh dan sebesar-besar kebaikan yang akan diraih oleh orang-orang yang bertaqwa. Andaikata seseorang mencintai seseorang yang lain lantaran melihat kebaikan yang tampak pada dirinya yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan mengganjarnya pahala atas kecintaannya terhadap apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan di dalam bathinnya (orang tersebut) karena hukum asalnya adalah mencintai Allah dan mencintai apa yang dicintai oleh-Nya; barangsiapa yang mencintai Allah dan apa yang dicintai oleh-Nya, maka dia termasuk wali Allah akan tetapi kebanyakan manusia sekarang hanya mengaku-aku saja bahwa dirinya mencintai tetapi tanpa teliti dan realisasi yang benar. Allah berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad)! Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni semua dosa kalian”.
Ayat ini turun terhadap suatu kaum di masa Rasulullah yang mengaku-aku bahwa mereka mencintai Allah.

Mencintai Allah dan Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa memiliki konsekuensi melakukan hal-hal yang dicintai-Nya dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai-Nya sementara manusia di dalam hal ini memiliki perbedaan yang signifikan; barangsiapa yang di dalam hal tersebut berhasil meraup jatah yang banyak, maka dia akan meraih derajat yang paling besar pula di sisi Allah. Sedangkan orang yang mencintai seseorang karena mengikuti hawa nafsunya seperti dia mencintainya karena ada urusan yang bersifat duniawy yang ingin diraihnya, karena suatu hajat tertentu, karena harta yang dia menumpang makan kepada si empunya-nya, atau karena fanatisme terhadapnya, dan semisal itu; maka ini semua itu bukan termasuk kecintaan karena Allah tetapi (kecintaan) karena hawa nafsu belaka. Kecintaan seperti inilah yang menjerumuskan para pelakunya ke dalam kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.

PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI HADITS TERSEBUT
·        Kewajiban pertama seorang hamba adalah mencintai Allah, setelah itu diikuti dengan kewajiban berikutnya, yaitu mencintai Rasul-Nya yang merupakan subordinasi dan konsekuensi dari mencintai Allah tersebut.
·         Seseorang kelak akan dikumpulkan bersama orang yang diidolakan dan dicintainya; maka hendaknya yang menjadi idola kita adalah Allah dan Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertaqwa.
·         Persaksian terhadap seseorang masuk surga atau tidak boleh dilakukan bila memang termasuk orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, sedangkan terhadap orang yang banyak dipuji dan dipersaksikan oleh orang banyak; maka terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehannya.
·         Hendaknya semua makhluk mengikuti Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam; tidak menyembah selain Allah dan beribadah kepada-Nya dengan syari’at Rasulullah, bukan selainnya.
·         Tidak boleh kita mengidolakan dan mencintai orang-orang yang dikenal sebagai pelaku maksiat dan pengumbar hawa nafsu karena implikasinya amat berbahaya, khususnya terhadap ‘aqidah. Karenanya, bagi mereka yang terlanjur telah mengidolakan orang-orang seperti itu yang tidak karuan ‘aqidah dan akhlaqnya, hendaknya mulai dari sekarang mencabut pengidolaan tersebut dari hati mereka dan mengalihkannya kepada idola yang lebih utama, yaitu Allah dan Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertaqwa. Sebab bila tidak, maka akhir hidupnya akan seperti akhir hidup orang-orang yang diidolakannya yang tidak karuan juntrungannya tersebut, na’ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a’lam

REFERENSI:
1.    “Majmu’ al-Fatâwâ” Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, pasal: Ma’na hadîts “al-Mar-u ma’a man Ahabb”
2.    Kitab “at-Tauhid” karya Syaikh Shalih al-Fauzân
3.    Kitab “al-Qaul al-Mufîd ‘ala kitâb at-Tauhîd” karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullâh, jld. I, hal. 151)

Ketika Kita Berdo'a


Allah Swt berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al Baqarah: 186)

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al Mu’min: 60).

Allah Swt telah berjanji, untuk mengabulkan segala permohonan hamba-Nya apabila ia berdo’a kepada-Nya. Namun sering terjadi, do’a seseorang seakan tidak dikabulkan, atau ketika dikabulkan tidak pada saat sesuai dengan yang diminta. Sehingga sering timbul sebuah pertanyaan “akan dikabulkankah do’a saya? Kapankah do’a saya akan terkabul? Mengapa do’a saya tidak dikabulkan? Dan sebagainya.

Terkadang manusia tidak memiliki kesabaran dan berharap do’anya dikabulkan saat itu pula, tak sabar menunggu dan kadang timbul prasangka buruk kepada Allah, baik dilakukan secara sadar maupun tidak. Syekh Ibnu Athoillah dalam kitab Al Hikam menjelaskan bahwa, ada tiga kemungkinan yang akan terjadi dari do’anya seorang hamba. Kemungkinan pertama adalah do’anya dikabulkan saat itu juga, seperti do’anya tiga orang pemuda yang terjebak dalam gua yang pintunya tertutup oleh sebongkah batu. Maka batu yang menutup pintu gua itupun bergeser sedikit demi sedikit hingga terbuka secara sempurna ketika satu persatu dari pemuda yang terjebak itu memohon kepada Allah sambil mengutarakan perbuatan baiknya.

Kemungkinan kedua adalah do’a itu dikabulkan, tetapi pada saat yang dianggap lebih tepat oleh Allah, bukan pada saat yang diminta oleh seorang hamba, seperti do’anya Nabi Ibrahim yang memohon agar Mekah Al Mukarromah dijadikan negeri yang banyak dikunjungi manusia dan menjadi negeri yang kaya raya. Kini kita selalu dapat menyaksikan, betapa berjuta-juta orang datang berkunjung ke negri Mekah dari segala penjuru dunia untuk menunaikan haji memenuhi panggilan Allah Swt, dan negeri ini menjadi negeri yang kaya raya karena banyaknya cadangan minyak bumi yang ada di sana.

Kemungkinan ketiga adalah do’a itu tidak dikabulkan, tetapi diganti oleh Allah dengan sebuah kebaikan, sehingga seorang hamba yang rajin berdo’a dapat terhindara dari. sebuah bencana atau cobaan dari-Nya. Oleh karenanya, berdo’a dalam setiap kesempatan mutlak dilakukan oleh seorang mu’min, untuk mengharap pertolongan Allah, senantiasa dapat berjalan di jalan yang benar, dan terhindar dari bencana dan cobaan-Nya, disertai dengan rasa penuh harap kepada Allah dan penuh rasa takut kepada-Nya, serta tawakkal terhadap segala takdir yang ditentukan oleh-Nya setelah berusaha dan berdo’a. Sehingga tiada pernah ada prasangka buruk melintas dibenak kita kepada Sang Penentu, Rabb semesta alam Pencipta dan Pemilik kita. Wallahu 'a’lam bishshowaab.#tausyah

Minggu, 26 Januari 2014

Fenomena Jilbab


Ini kisah anak desa. Kisah tentang pandangan orang desa yang kebanyakan illfeel atau antipati terhadap orang yang berjilbab besar. Kebanyakan dari mereka memang orang awam yang masih kental terhadap kejawen. Suatu saat ada obrolan antara gadis berjilbab besar dengan sepupunya yang masih berjilbab “biasa”.

G (Gadis)
S (Sepupu)

S       : Kenapa sih dek harus pake jilbab besar kayak gitu?
G       : Memangnya kenapa mbak, apa juga salahnya ketika pake seperti ini?
S       : Ya gak tau kelihatan aneh saja
G      : Misal ya mbak, ada seorang gadis yang berpakaian vulgar seperti rok mini kemudian seumpama suami sampean melihat gadis tersebut dan merasa tergoda atau tertarik dengan apa yang nampak pada gadis itu sampean bakal cemburu atau marah gak mbak kalau tau?
S       : Ya iya...
G       : Brarti mbak merasa terganggu kan?
S       : em... ya
G       : Lha terus kalau saya berpakaian seperti  ini apa mbak merasa terganggu??
S       : (Terdiam)
G     : Aneh kan mbak kalo orang berpakaian buka-bukaan yang mengundang nafsu aja dianggap biasa, tapi orang yang berpakaian menutup aurat justru dianggap aneh??
S       : Iya mungkin karena takut aliran yang aneh2 gitu yaaa
G     : Aliran mana yang dimaksud. Jangan terlalu percaya apa kata orang yang dengan seenaknya mengklaim “aliran aneh” . Memang ada yang aneh dari kelakuan saya mbak?
S       : Ya gak sih. Ya biasa aja mbak dan tetangga2 kan sudah kenal sampean.
G     : Brarti kebanyakan orang pas ketemu orang gak dikenal di jalan dengan pakaian seperti ini langsung diklaim “aneh” gitu yaa
S       : Bisa jadi begitu

Fenomena tersebut biasa terjadi di kalangan masyarakat. Ada lagi fenomena ketika orang bilang seperti ini” Ngapain harus berjilbab, Si X aja pake jilbab tapi juga pacaran. Kalau si Y meskipun gak berjilbab tapi gak pacaran”. Ya kebanyakan orang memandang dari segi seperti itu. Kenapa tidak seperti ini. “Ya si X itu masih pacaran, tapi setidaknya sudah pake jilbab. Tentu akan lebih oke ketika dia gak pacaran. Ya si Y itu berakhlak baik dan gak pacaran, Tapi alangkah lebih sempurna ketika jilbab itu menutupi dirinya”.

Fenomena lain juga seperti ini “Itu yang diperintahkan berjilbab bukannya istri nabi yaa?Kita kan bukan istri nabi". Lha kalau istri nabi saja yang sudah dijamin kemuliaannya diperintahkan untuk menutup aurat bagaimana dengan kita yang belum terjamin kemuliaannya? Dalam QS Al Ahzab ayat 59 Allah berfirman “ Hai Nabi, katakanlah istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-rang mukmin ,Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka...” Nah itu ada juga istri-istri orang yang beriman. Kita beriman kepada Allah kan? :).

Ada juga fenomena seperti ini. “Ntar aja deh aku pake jilbabnya kalo udah nikah”. Ya mungkin ketika sudah nikah lebih ingin menjaga diri untuk suami saja, dalam hal ini suami selamat dari pertanggungjawaban mendidik istri untuk menutup aurat. Padahal kita gak tau seberapa panjang usia hidup kita, apakah kita masih bisa merasakan pernikahan atau tidak siapa yang tau.

Menutup aurat selain disyari’atkan tentu saja membawa kebaikan. Lebih merasa aman dari tindak pelecehan karena nafsu,  Terlindung dari sinar matahari yang bisa merusak kulit dll. Selain itu juga tolong menolong dalam kebaikan. Misalnya ketika kita menutup aurat maka telah menolong para laki-laki dari zina mata, zina hati atau zina yang sebenarnya, karna tidak memancing syahwat mereka. Selain itu dengan menutup aurat maka ayah kita telah terpenuhi tanggungjawabnya dalam mendidik putrinya untuk menutup aurat dan tidak menanggung dosa  akibat kita tidak menutup aurat. Wallahu a’lam bishawab.


Sabtu, 25 Januari 2014

PENCITRAAN



Dari dulu saya tidak begitu sreg dengan kata ini, “pencitraan”. Kenapa??? Karena bisa jadi atau  seringkali yang namanya pencitraan itu cenderung membelokkan niat. Memang niat orang siapa yang tau tapi beberapa memang terbukti. Tau maksudnya membelokkan niat??? Ini maksudnya berhubungan dengan pihak yang berperan sebagai yang dicitrakan :D Yaitu cenderung menimbulkan sifat tinggi hati meskipun itu hanya sedikit, tergantung manajemen hati tiap orang sih. Sudah menjadi suatu kewajaran ketika seseorang dijadikan teladan atau inspirasi bagi orang lain karena memiliki track record yang oke misalnya saja tentang prestasi, jabatan di organisasi, ataupun kesuksesan-kesuksesan yang lain. Ya karna kebanyakan orang memang tidak hanya memandang apa yang disampaikan tapi juga siapa yang menyampaikan. Okelah, sekali lagi hanya saja benar-benar harus hati-hati  dalam menjaga niat di hati :) Jangan sampai pujian atau simpati orang lain membuat kita terlena.

Misalnya saja seperti ini. Seseorang yang mendapat undangan nikah dari temannya. Kemudian dia ragu2 antara datang dan tidak ,lau berpikir “dateng gak yaa...kalo gak dateng kan sungkan”. Nah kena tuh, apa sih sebenarnya niat kita menghadiri undangan? Karna sungkan kalo gak dateng? Lagi-lagi sungkan itu berhubungan dengan pencitraan, tentang image diri kita di hadapan teman. Kok karena sungkan yaa? Harusnya kan lillahi ta’ala. Memenuhi undangan termasuk hak seorang muslim terhadap muslim lainnya :)

Contohnya lagi tentang seseorang sebut saja Fulanah. Dia seorang ADK yang aktif berorganisasi di kampus, punya track record yang oke. Kemudian ada suatu obrolan seseorang sebut saja Fulan ,yang bertanya ke dia”Gimana, jadi nyalon ya??” Nyalon disini maksudnya mencalonkan diri lho ya bukan pergi ke salon :D Kemudian di obrolan lain saya bertanya ke Fulan”Lho mbak Fulanah mau nyalon Presbem beneran to?”. “Iya denger2 sih...terinspirasi dari Presbem I*B yang cewe itu“,jawab Fulan. “Maksudnya?” tanyaku lagi. “Itu..tu mbaknya yang di I*B yang cantik aja bisa jadi presbem. Apalagi mbak Fulanah malah lebih cantik kan selain aktif di kampus?”, jawabnya. “Ya...ya Cantik buanget malah, tapi masak yo alasannya pake embel2 karena CANTIK???” kataku. Seorang pemimpin diajukan atau dipilih haruslah karena kriteria2 yang menjadikannya pantas untuk dipilih, entah dari segi kepemimpinan maupun agama. Lha kalo alasannya karena fisik??Yang benar saja. Kembali lagi tentang niat. Bagaimanapun menurut saya tetaplah pemimpin itu sebaiknya laki-laki. Wanita akan jadi pemimpin ketika memang sudah tidak ada sama sekali laki-laki (“yang bener”) :D.

Ini yang terakhir, kisah yang lucu. Ini pengalaman saya menjadi SC di suatu agenda sambut maba LDK kampus. Saat itu ada syuro’ SC ikhwan dan akhwat di balik hijab. Apalagi yang dibicarakan kalo gak ngonsep acara. Pada saat itu kami tengah membahas isi proposal. Diantaranya adalah tujuan yang tertulis di proposal tentang acara ini. Salah satu poin tujuan dalam proposal tersebut tertulis “Sebagai pencitraan dan mengenalkan LDK kepada maba”. Kemudian ada salah satu ikhwan yang gak sepakat dan berkata” Wah saya gak begitu sepakat ini, masak tujuan perjuangan dan pengorbanan kita adalah untuk PENCITRAAN “. Aku tersenyum, akhwat lain disampingku nyeletuk lirih “Ini orang saklek banget sih”.

Menjadi SC di acara ini menurut saya memang beda dengan SC di acara lain, sedikit share. Apalagi selain jadi SC juga OC sekalian. Lengkap dah :D Kalo mau puitis bisa dibilang penuh perjuangan dan pengorbanan serta aral melintang:D Mulai dari syuro2 intensif buat ngonsep, pas hari H muter2 kampus tiap hari nyebar brosur, berkenalan dengan maba dan ortunya, hampir2 tidak tidur semaleman bikin toolkit, cetak brosur, selalu siap siaga ketika ada panggilan butuh pertolongan(kayak petugas keamanan aja :D), standby jam 6 di lokasi pendaftaran, sampai belum sempat mandi(bisa jadi), soale kalo telat standby bisa berakibat fatal :D, dan lain2nya. Banyak belajar juga bagaimana mengenali tipe2 orang yang kadang menyambut ramah dan antusias, ada yang cuex atau gak peduli, ada yang takut malah, takut ini aliran sesat apa gak :D

Kembali ke topik pencitraan. Apakah semua perjuangan temen2 tersebut adalah karena tujuan utama PENCITRAAN??? Tapi ya lucu juga kalo di proposal mau ditulis “Tujuan dari kegiatan ini adalah karena mengharap ridlo Allah Ta’ala”:D Kalau menurut saya pencitraan itu hanya sebagai akibat. Maksudnya bagaimana perjuangan kita di mata orang lain ya biarlah mereka yang menilai dari hati mereka,yang paling penting bagaimana niat kita?? Apakah pencitraan menjadi niat utama? Semoga saja ya karena lillahi ta’ala, saling tolong menolong dalam kebaikan :) Kembali lagi dengan pelurusan niat.

Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai apa yang ia niatkan. Yuk sama-sama instrospeksi diri, meluruskan niat, tidak mudah terbuai atau terlena dengan pandangan baik,pujian, sanjungan, maupun simpati orang kepada diri kita. Ingatlah apa yang kita miliki siapa yang memberikan??? Ketika  berbuat baik atau berkorban untuk orang lain ingatlah untuk apa tujuan kita hidup??? Ketika mengagumi atau simpati kepada orang lain ingatlah juga siapa yang menciptakan??? Siapa yang berkehendak kalau bukan yang Maha Kuasa.   Ingatlah bahwa apa yang baik di mata manusia belum tentu baik di mata Allah. Apalagi tentang hal-hal duniawi yang dipandang “wah” oleh manusia. Allah tidak menilai kita dari kecerdasan, fisik, kekayaan, dll. Toh itu semua juga Allah yang ngasih. Yang membedakan kita di hadapan Allah adalah dari sisi ketakwaan, buka kembali QS Al Hujurat ayat 13. Semoga Allah senantiasa menunjuki kita jalan yang lurus :)

Menikah untuk apa

Menikah untuk apa??? Setiap orang pasti punya visi misi tersendiri untuk menempuh perjalanan yang menggenapkan separuh agamanya. Ini masih tentang bening. Insyaallah ini gak ghibah yaa, sudah ijin tentang yang ku tulis ini dan “Bening” juga bukan nama yang sebenarnya :D Cukuplah kita ambil hikmah atas apa yang kuceritakan di tulisan ini . Tulisan yang sebelumnya saya bercerita tentang hijrahnya dia ke arah yang lebih baik di jalan Allah. Qadarullah, dia menjadi bening yang senantiasa haus akan ilmu agama, senantiasa semangat dalam berda’wah meskipun tantangan yang datang bertubi-tubi namun tidak menyurutkan keistiqomahan dan kesabarannya. Tantangan yang paling kuat justru berasal dari keluarganya. Beberapa ikhwan/cowo pernah melamarnya. Bahkan sudah pernah sampai nadhor namun Qadarullah ternyata memang belum berjodoh dengan orang2tersebut. Inilah Cuplikan percakapan kami :

A (Aku), B(Bening)

A             : Wah memang belum berjodoh kali yaa :) memangnya apa alasan penolakanmu ?
B             : Karna belum sreg dengan pertanyaan2 yang kuajukan saat nadhor
A             : Belum sregnya kenapa?
B             : Banyak . Misalnya saja ketika aku tanya :”Apa kejadian/hal yang paling antum sesali selama hidup ini?”. Jawabnya : “Telat nikah”. Tanyaku lagi : “Apa visi misi atau tujuan antum menikah?”. Jawabnya : “Biar ada yang ngurusin, kalo capek ada yang mijitin dst “. Emang aku pembantunya apa.  Kemudian aku memintanya untuk membaca beberapa ayat Al Qur’an saat itu juga. Aku ingin mendengar bacaan Al Qur’an darinya. Dan dia benar-benar tidak mau melaksanakannya meskipun aku sudah memaksa. Dengan berbagai pertimbangan, setelah proses itu, aku sampaikan ke ustadz yang menjadi perantara bahwa aku belum bisa menerimanya sebagai pendamping hidup.
A             : (Ketawa) .... Jawaban dia berorientasi pada dunia saja. Lalu bagaimana pendeskripsian dirimu dihadapannya?
B             : Aku sebutkan banyak kejelekanku.
A             : Memang sebaiknya begitu, sebutkan semua kekurangan jika memang perlu untuk disebutkan. Tak apalah jika banyak atau kamu sengaja melebih-lebihkan kekurangan yaa?hehe. Memang butuh orang yang bisa menerima kita apa adanya dengan kekurangan maupun kelebihan yang kita miliki :D
B             : (Tertawa) . Allah pasti menyiapkan yang terbaik kok mbak. Percaya deh sama Allah.
A             : Pasti :)

Kemudian dia mengungkapkan tentang visi misi dia menikah salah satunya yaitu untuk “DAKWAH”. Ya memang dengan menikah lebih bisa menjaga kesucian, akan semakin kuat juga jika ada penggenap separuh dien yang mendukungnya dalam dakwah, bersama melangkah menuju ridlo Allah, bersama mewujudkan keluarga dakwah yang sakinah,mawwadah, wa rahmah, bersama untuk membangun istana di Surga-Nya :). Semoga kita tetap senantiasa saling mendo’akan dalam kebaikan, semoga diberi kesabaran dan keteguhan atas berbagai ujian, semoga senantiasa istiqomah di jalan-Nya, dan semoga kita dijodohkan dengan orang yang baik pula :)

Kamis, 23 Januari 2014

Bening

Ini kisah perjalananku dengan kawan lama. Sebut saja Bening. Sungguh takjub melihat perubahannya yang begitu drastis. Sangat beda sekali dari masa lalunya. Dia belajar di pondok Salman Al Farisy. Kami saling bercerita tentang pengalaman selama kita berpisah di tempat yang berbeda. Aku di Surabaya, dia di Kediri. Aku ingat betul betapa dulu dia sangat ingin masuk di Fakultas Kedokteran salah satu universitas ternama. Tahun pertama mencoba gagal, namun dia tidak putus asa. Padahal orang tuanya sudah menawarkan untuk lewat jalur lain dan akan membayar berapapun nominalnya karna kebetulan ada saudaranya yang menjadi dosen di universitas itu. Tetap saja dia kekeuh tidak mau masuk FK kalau lewat jalur seperti itu dan memutuskan untuk ikut tes tahun depan. Tahun berikutnya mencoba lagi dan akhirnya berhasil meskipun lewat mandiri. 

Yang membuatku heran, ternyata dia tidak mengambil kesempatan itu. Justru memilih jalan lain yaitu belajar di Ma'had. Saat sekolah dia tergolong modis, aktif  dan organisatoris. Dan sekarang yang kulihat adalah dia yang tampil sederhana berbalut hijab syar'i dengan wajah yang teduh dan menyejukkan. Dari obrolan kami banyak ilmu yang kudapat darinya. Bagaimana tentang perbubahan dan hidayah yang telah ia dapatkan. Tentang pentingnya ilmu agama  untuk dipelajari, dimengerti, dan diamalkan. Salah satu hal yang membuat diriku merasa diingatkan yaitu tentang cita-cita terhadap sesuatu berbau duniawi. 

Ketika disela-sela obrolan aku menceritakan kisah orang yang menginspirasi, tentang prestasi dan pencpaian-pencapaian yang aku anggap hebat untuk dijadikan motivasi . Dia hanya menjawab " Itu hanya prestasi dunia mbak, janganlah terlalu memandang hebat orang dari segi duniawi, Orang non islam pun juga banyak yang lebih hebat dari dia". 

Ya memang benar kalo dalam QS.Al Qasas ayat 77 agar mencari untuk kebaikan akhirat tanpa melupakan dunia. Jadi silahkan dikoreksi sendiri kira-kira orientasi kita lebih kemana? Dunia atau akhirat? Ingatlah bahwa kehidupan yang kekal adalah di akhirat. Jangan sampai kita seperti yang dimaksud dalam QS.Al Hajj ayat 11, menjadi tendenius dalam beribadah,  menjadikan ibadah kepada Allah sebagai orientasi pencapaian hal-hal yang sifatnya duniawi dan akan berpaling ketika ditimpa cobaan/musibah. 

Menengok kembali resolusi 2014 yang kubikin, memang tidak banyak. Eh, ada targetan hafal sekian juz dan semakin bermanfaat bagi umat, yang lain rahasia :D . Ingat juga dalam suatu acara ketika pemateri memberi instruksi untuk menuliskan target2 tahun 2014 di kertas dan beberapa orang diminta membacakannya di depan teman-teman. Memang yang kutangkap banyak yang menargetkan tentang lulus tepat waktu, juara pimnas, ipk sekian koma sekian, punya usaha mandiri, juara OSN, masuk organisasi X, ketrima fast track, beasiswa keluar negeri, dan segudang prestasi lainnya. Setelah dipikir-pikir ternyata memang semuanya berbau duniawi. Semoga saja penargetan itu tidak berdasarkan nafsu terhadap dunia saja. Mungkin banyak target2 ukhrawi yang ada di benak temen2 dan belum sempat ditulis yang tidak kalah dengan targetan tentang prestasi2 tersebut :) Semoga ^^



Rabu, 22 Januari 2014

Baca ini :)

Kalo ga sepakat kroscek aja ke yang nulis :D
Saya memang bukan ahli hadits, nahwu dan sharaf :) Tapi saya kira penjelasan disini sangat jelas sekali, berdasarkan beberapa referensi :)

http://catatan-ibn-al-jaizy.blogspot.com/2014/01/bertaruh-tengsinmengungkap-kelalaian.html

Selasa, 21 Januari 2014

Magetan, 22-01-2014

Ingin  sedikit menulis di tengah-tengah sedikit kejenuhan setelah berlama-lama di dalam rumah dalam waktu liburan akhir semester gasal ^^

The first time merasakan yang namanya dibius,langsung sampai 4 kali dan dijahit pada anggota tubuh, bagian kaki. Hanya sakit saat dibius, dijahitnya gak kerasa (yaiyalah efek suntikan bius :D). Disela-selah proses itu, para dokter yang menangani suka ngajak cerita juga. Tentang kuliah dll. "Rumahnya mana mbak?", Tanya dokter. "Takeran", jawabku. "O..takeran...itu kan ada sekolahan yang terkenal selalu kekeringan ya..." sambung dokter yang lain. "Mana ya, gak ada tu (sembari berpikir)" jawabku. " Lha itu "MIN TAKERAN" tuturnya. Para dokter yang lain ketawa begitu juga denganku. Hadeh dokter ini bisa-bisanya. hm,,,MINTA KERAN. Dan selama proses itu mereka saling bercerita, terkadang ngajak ngobrol yang bisa membuatku tertawa kecil :D Jadi berpikir, jadi dokter memang harus bisa menghibur pasien ya disela-sela sakitnya. Setelah selesai dijahit masih terasa biasa, efek biusnya masih terasa.  Kata dokter pulihnya sekitar 2 minggu dan perlu untuk kontrol lagi ke RS.

Setelah beberapa jam kemudian baru kerasa lagi sakitnya, efek biusnya udah hilang. Sakitnya efek jahitan mungkin. Kalo sedikit lebay bisa dibilang "sakit buuaangeet".  Susah juga buat jalan. Meskiun rasanya sakit banget dalam waktu yang lumayan lama, ini masih sakit ringan kan. Jadi berpikir gimana rasanya malah kalo habis melahirkan? tentu sakitnya berlipat-lipat dari ini dalam waktu yang lebih lama. Luar biasa sekali perjuangan seorang ibu :)  Lha wong ini beberapa jahitan di kaki aja sakitnya lumayan, dan butuh pemulihan 2 minggu. Belum seberapa, Semangat !!!^^

Sedikit ingin bercerita,,, Bahwa sakit itu menyehatkan syukur. Terkadang baru terasa betapa berharganya sehat ketika sakit#Banyak bersyukur. Sakit itu menguji kesabaran, seberapa kuat manusia bisa bertahan dengan tetap bertawakal :) Toh ini belum seberapa...Baru berapa lama sih sakit? Kalo dibandingkan nikmat sehat yang Allah berikan selama ini belum seberapa. Jadi ingat nabi Ayyub yang diuji sakit bertahun-tahun bahkan sampai dijauhi sanak famili dan tetangganya, namun masih bisa berkata "Aku telah hidup selama 70 tahun dalam keadaan sehat, dan Allah baru mengujiku dalam keadaan sakit selama 7 tahun. Ketahuilah, itu amat sedikit dibandingkan masa 70 tahun" Masyaallah, senantiasa penuh syukur, tetap sabar dan ikhlas. 


ini ada tulisan kerennya Ust. Salim A.Fillah tentang sakit ^^

Sakit adalah bagian dari musibah yang telah Allah ukur kadarnya untuk dihadiahkan pada hamba-hamba terpilih yang mampu menanganinya. Sakit, sebagaimanapun tiap ujian, bukan menguji kemampuan sebab telah ditakar sesuai daya tahan. Ia menguji kemauan memberi makna. Maka dia yang mampu memberi makna terbaik bagi sakit, kemuliannya diangkat dan membuat para malaikat yang selalu sehat itu takjub.

Sakit itu Zikrillah. Mereka yang menderitanya akan lebih sering dan syahdu menyebut Asma Allah dibanding ketika dalam sehatnya. Sakit itu Istighfar. Mereka yang disapanya lebih muda teringat dosa-dosa lama, mengakuinya, dan bertaubat memohon ampun. Mereka yang parah dicengkamnya pasti dituntun untuk berkalimat thayyibat, menegaskan-Nya dalam lisan dan rasa.

Sakit itu Muhasabah. Dia yang sakit punya lebih banyak waktu untuk merenung diri dalam sepi, menghitung-hitung bekal kembali. Dia yang sakit tak boleh menyerah kalah; diwajibkan untuk terus berikhtiar, berjuang bagi kesembuhannya. Sakit itu Ilmu. Dalam menjalani pemeriksaan, konsultasi ke dokter, dirawat, dan berobat bertambahlah pengetahuan tentang tubuhnya.

Sakit itu nasihat. Yang sakit ingatkan si sehat untuk jaga diri. Yang sehat hibur si penderita agar bersabar. Allah cinta keduanya. Sakit itu silaturahim. Yang jarang datang disaat bersangkutan sehat wal afiat, tiba-tiba menjenguk dengan senyum dan rindu mesra. Sakit itu dijamin sabarnya; sabar tetap beribadah, sabar tak bermaksiat, sabar dalam tahan derita, sabar menunda capaian.

Sakit itu gugur dosa. Barang haram terselip tubuh dilarutkan di dunia, anggota badan yang mungkin berdosa dinyerikan dan dicuci-Nya. Sakit itu mustajab do’anya. Sakit itu adalah salah satu keadaan yang menyusahkan syaitan; diajak maksiat tak mampu, tak mau, dosa lalu disesali lalu diampuni. Sakit itu membuat sedikit teratawa dan banyak menangis; satu perilaku keinsyafan yang disukai Nabi dan makhluk-makhluk langit.

Sakit itu memperbaiki akhlak; kesombongan terkikis, sifat tamak dipaksa tunduk, pribadi dibiasakan santun, lembut dan tawadhu. Sakit membuat kita lebih serius mengingat dan mempersiapkan kematian. Dia yang merasa dekat mau menghargai waktunya dengan baik. Semoga Allah tolong kita menjadi hamba penuh syukur di segala keadaan.

Senin, 20 Januari 2014

Penuturan Dr. Orevia, seorang dokter dari Amerika yang masuk Islam karena Jilbab


Aku adalah adalah dokter wanita spesialis kandungan. Aku bekerja di sebuah rumah sakit di amerika sejak delapan tahun yang lalu. Setahun yang lalu ada seorang wanita arab muslimah yang datang untuk melahirkan di rumah sakit tempat aku bekarja. Menjelang bersalin ia Nampak mengerang kesakitan, namun tak mencucurkan air matanya sedikitpun.

Menjelang berakhirnya jam kerjaku, kuberiahukan kepadanya bahwa aku akan pulang ke rumah, dan dia akan ditangani oleh dokter pria. Ketika itulah dia menangis dan berteriak penuh kesedihan sambil mengulang-ulang ‘Tidak…aku tidak mau laki-laki’.

Akupun heran dengan sikapnya. Lalu suaminya memberitahukanku bahwa sepanjang hidupnya tidak ada lelaki yang pernah melihat wajahnya selain ayah, saudara kandungnya dan pamannya (mahram-mahramnya). Akupun tertawa dan bertanya dengan penuh keheranan, padahal aku sendiri tak yakin apakah masih ada lelaki yang belum pernah melihat wajahku. Namun,  akhirnya kuturuti kemauan mereka. Aku memutuskan untuk menunggunya hingga melahirkan. Keduanya pun berterima kasih kepadaku.

Di hari kedua aku menjenguk untuk menenangkan hatinya setelah melahirkan. Akupun bercerita bahwa disana banyak ibu yang menderita berbagai penyakit dan peradangan internal kerena mereka mengabaikan masalah nifas, dan tetap melakukan hubungan suami istri. Sontak ia menjelaskan kepadaku perihal nifas yang mereka lekukan menurut islam. Aku sungguh takjub mendengar uraiannya. Saat aku asyik berbicara dengannya, masuklah seorang dokter wanita spesialis anak untuk menentramkan hatinya. Ia menyarankan si ibu agar beyinya ditidurkan miring ke kanan supaya detak jantungnya teratur. Sontak sang ayah menyahut ‘ Kami selalu menidurkannya miring ke kanan karena mengikuti sunnah Nabi kami (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam)’. Aku pun takjub kembali.

Umur kita habis sekedar untuk mengetahui hal tersebut sedang mereka telah mengetahuinya lewat agama mereka, kataku dalam hati. Akhirnya kuputuskan untuk berkenalan dengan agama ini. Ku ambil cuti selama sebulan, dan pergi ke kota lain yang ada di Islamic center. Disana aku habiskan sebagian waktuku untuk Tanya jawab, meminta penjelasan dan bertemu dengan kaum muslimin dari Arab dan Amerika. Ketika berniat pulang aku  membawa brosur yang menjelaskan tentang islam. Aku membacanya sembari terus menjalin kontak dengan beberapa staf Islamic Center. Alhamdulillah, aku menyatakan keislamanku beberapa bulan kemudian.

Sumber: Lautan mukjizat dibalik balutan jilbab
              Oleh Sufyan Bin Fuad Baswedan