Perang pemikiran(ghozwul fikr) merupakan fenomena yang marak di
kalangan umat islam saat ini. Memang tidak menimbulkan kematian, namun dapat mengeruk sebuah
idealisme ataupun pedoman. Katakan saja masalah adat istiadat dan agama yang
berubah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang benar. Ghowzul fikr dapat terjadi
melaluli beberapa sarana diantaranya food, fashion, fun, dan football. Umat
islam diasupi secara perlahan-lahan sehingga melunturkan nilai2 keislaman serta
menjauhkannya dari ajaran Allah. Parahnya lagi yang diperangi gak sadar kalau
mereka sedang diserang.
Arrahmah.com/Muslimahzone.com - Ibu Guru berkerudung rapi tampak bersemangat di depan
kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam. Di tangan
kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya
punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan
ada penghapus.
Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya
angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti
dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan
tangan kirinya, kian lama kian cepat.
Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang
perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya
angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan permainan diulang kembali.
Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat
sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi
kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada
murid-muridnya. “Anak-anak,
begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq,
yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya
melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan
sebaliknya. Pertama-tama mungkin akan sukar
bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan
cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal
itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah
berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.” “Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu
yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang
lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini
menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya
sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya.
Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya. “Paham Bu Guru” “Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan. “Bu Guru
ada Qur’an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga”
sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di
luar karpet.
Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil. Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet. “Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.” “Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”
Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.
Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil. Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet. “Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.” “Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”
Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.
***
Ini semua adalah fenomena Ghozwul Fikr (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Musuh-musuh Islam berupaya membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.
Ini semua adalah fenomena Ghozwul Fikr (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Musuh-musuh Islam berupaya membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut
mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun
orang-orang kafir itu benci akan hal itu.”(QS. At Taubah:32).
Marilah berhati-hati kawan, Mari mendekatkan diri dan memohon kepada Allah agar senantiasa dalam lindungan-Nya, berada pada jalan yang lurus dan dijauhkan dari kebathilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar