Dejavu! Seketika melayang ingatannya pada masa beberapa tahun
lalu. Entah kenapa Zaniya tidak lupa. Saat dalam candanya ia berucap pada
laki-laki itu. “Sepertinya memang hanya kamu teman dekatku yang tidak jatuh
hati padaku. Hahaha.”
Diam. Tak ada jawaban. Pun tak ada lanjutan celotehan canda gadis
itu. Dia menunggu respon temannya. Apa
aku salah bicara ya, pikirnya.
“Apa aku pernah bilang tidak?”
Deg!
Ada degub lain di jantung hati Zaniya. Cukuplah kalimat terakhir teman dekatnya
itu menyalakan logika dan asosiasinya. Cukup. Tidak perlu dilanjutkan memang.
Dia tidak ingin mendapat kesimpulan apa-apa meski sebenarnya otak dan hatinya
seolah mendapat pembenaran atas rasa yang selama ini ia sangka, bahwa laki-laki
itu menyukainya, sejak lama. Toh saat itu bukan hal yang penting dan perlu
untuk mengetahui benar tidaknya laki-laki itu mencintainya.
Sekarang
ia mendengar jawaban yang sama dari sosok yang sama.
“Kenapa kau tidak bertanya dulu padaku, Zaniya?” ada nada
terkejut dalam intonasi lelaki itu. Tajam matanya menatap Zaniya, seolah
menegaskan suatu ketidaksetujuan.
“Untuk apa bertanya dulu padamu Azril? Apa harus ada ijin
darimu untuk aku menerima dia atau tidak?” Ganti Zaniya yang meninggi. Hening
beberapa detik. Sementara pikiran mereka masing-masing menerka apa kelanjutan
percakapan mereka.
“Apa kau tahu aku mencintaimu?” tampak kalimat itu berat untuk
diungkapkan. Seberat desakan kuat yang tiba-tiba menyesakkan dada Zaniya
selepas mendengar kalimat barusan.
“Tidak, kan?” sekuat tenaga Zaniya menahan diri untuk tak
menangis. Ia tahu benar apa yang sedang terjadi sekarang. Pertempuran batin, ia
dengan dirinya sendiri. Untuk melanjutkan pembicaraan ini atau tidak. Hening
sejenak.
“Apa aku pernah bilang tidak?” Laki-laki itu, matanya
berkaca-kaca. Jelas sudah suaranya bergetar. Kepalanya merunduk mencari celah
untuk menatap mata Zaniya. Yang ditatap tak henti menunduk. Sepertinya tanah
tercover rumput hijau di bawah kakinya adalah hal paling menarik yang menyita
perhatiannya. Tak hendak menoleh ke arah lelaki yang menjajarinya duduk di
bangku taman itu. Pikirannya masih terngiang kalimat Azril barusan. Dejavu!
“Zaniya, kenapa baru sekarang kau menyinggung tentang ini?
Setelah hari pernikahanmu tinggal satu bulan lagi.” nada bicara Azril mulai
datar. Meski gemuruh rasa dalam hatinya belum juga mereda. Yang ada dalam
ambang bayangannya sekarang hanya satu: dia akan kehilangan wanita yang selama
ini diharapkannya. Bukan hal mudah memang untuk meredakan letupan rasa khawatir
itu sekarang. Sama halnya bukan dalam waktu sebentar ia menyiapkan diri untuk
mengatakan perasaannya pada Zaniya. Menyiapkan diri. Karena ia tahu, urusan
dengan Zaniya bukan hanya butuh pernyataan, tapi juga bukti berupa tindakan
yang bertanggung jawab: menikahinya. Dan memang itu pula yang selama ini masih
disiapkan Azril, segala kesiapan untuk menikahi Zaniya. Itu pula yang
membuatnya menunda untuk mengungkapkan perasaannya pada Zaniya. Tanpa ia tahu
sebelumnya bahwa penundaan itu membawanya pada suasana sore ini.
“Azril.” Penuh penekanan, meski suaranya tak nyaring. Bukan
karena khawatir suaranya didengar orang-orang yang lalu lalang di taman kota
itu, tapi lebih karena menahan gemuruh perasaannya sendiri. Zaniya menatap
lelaki yang duduk satu meter di sampingnya. Menemukan tatapan Azril yang
meluluhkan. Mata Zaniya sendiri berkaca-kaca. “Apa pernah kau bilang padaku?
Apa pernah kau memintaku? Apa pernah sekalipun kau menyinggung perasaanmu
padaku atau perasaanku padamu?” Mengambil nafas dengan berat seolah oksigen di
taman hijau sejuk itu hanya tersedia dalam jumlah terbatas. Zaniya melanjutkan
klaimnya. “Kau memang tidak pernah mengatakan tidak. Tapi tak ada juga kata iya
darimu. Kau hanya berani bersembunyi. Dan sekarang apa salahku kalau aku sudah
memutuskan dengannya?” Menetes akhirnya, bulir bening di mata Zaniya. Sembari
ia terus berpikir, apa benar ia harus menangisi ini. Bertahun-tahun ia berhasil
menahan perasaannya dan sekarang justru pada detik-detik menjelang
terlaksananya keputusan besarnya, ia menangisi perasaan itu.
“Aku masih menyimpannya.” Sekarang ganti Azril yang tak mampu
lagi menatap wanita cantik di sebelahnya. Berusaha setenang telaga di
hadapannya. “Aku menunggu saat yang tepat…”
“Sampai akhirnya kau lihat sendiri, saat yang tepat yang masih
kau tunggu itu, ternyata tidaklah tepat.” Daun-daun kering berguguran dari
rantingnya. Diterpa angin sore yang mulai mendinginkan alam. Bukan salahnya
angin pasti, hanya karena begitulah memang Tuhan mencipta rencana-Nya, dengan
segala sebab akibat yang bertautan, peristiwa itu menjadi bermakna. Dua anak
manusia itu tidak sadar, dalam diamnya masing-masing, mereka tengah menatap dan
memikirkan hal yang sama. Daun itu pun telah tertulis takdirnya kapan saatnya
ia akan gugur. Masing-masing mereka bahkan telah faham teori itu. “Aku sudah
memutuskan. Tidak ada yang akan berubah kecuali dengan rencana Tuhan.” Azril
masih diam menatap danau tenang di hadapannya. “Aku menemuimu hanya untuk
bertanya tentang Raffa, tentang masalah yang sedang dihadapinya sekarang,
karena kuanggap kau teman yang banyak tau tentangnya. Hanya itu. Jika tidak ada
jawaban untuk pertanyaanku, ya sudah. Tidak perlu ada banyak hal lain di luar
keperluanku yang kudengar. Aku pulang, Azril.” Zaniya beranjak dari duduknya.
Membenahi jilbab birunya yang berkibar diterpa angin.
“Zaniya.” Azril menoleh ke arah Zaniya, hanya saja pandangannya
terarah ke rumput hijau tanpa hendak menatap sosok yang akan pergi itu. Zaniya
menghentikan langkah tanpa menoleh kembali. “Menikahlah dengannya. Dia temanku
yang baik.” Seulas senyum mengiringi ucapannya, meski Zaniya tidak melihatnya.
Berlalu
angin menerpa, mengiringi langkah Zaniya meninggalkan Azril sendirian di bangku
taman. Sepi. Matahari hampir tenggelam. Mereka sama merasa, baru saja
mengakhiri pertemuan sore itu dengan tepat.