Minggu, 06 Oktober 2013

Waktu yang ditunggu itu ternyata tidak tepat


Dejavu! Seketika melayang ingatannya pada masa beberapa tahun lalu. Entah kenapa Zaniya tidak lupa. Saat dalam candanya ia berucap pada laki-laki itu. “Sepertinya memang hanya kamu teman dekatku yang tidak jatuh hati padaku. Hahaha.”

Diam. Tak ada jawaban. Pun tak ada lanjutan celotehan canda gadis itu. Dia menunggu respon temannya. Apa aku salah bicara ya, pikirnya.
Apa aku pernah bilang tidak?”
Deg! Ada degub lain di jantung hati Zaniya. Cukuplah kalimat terakhir teman dekatnya itu menyalakan logika dan asosiasinya. Cukup. Tidak perlu dilanjutkan memang. Dia tidak ingin mendapat kesimpulan apa-apa meski sebenarnya otak dan hatinya seolah mendapat pembenaran atas rasa yang selama ini ia sangka, bahwa laki-laki itu menyukainya, sejak lama. Toh saat itu bukan hal yang penting dan perlu untuk mengetahui benar tidaknya laki-laki itu mencintainya.
Sekarang ia mendengar jawaban yang sama dari sosok yang sama.
Kenapa kau tidak bertanya dulu padaku, Zaniya?” ada nada terkejut dalam intonasi lelaki itu. Tajam matanya menatap Zaniya, seolah menegaskan suatu ketidaksetujuan.
Untuk apa bertanya dulu padamu Azril? Apa harus ada ijin darimu untuk aku menerima dia atau tidak?” Ganti Zaniya yang meninggi. Hening beberapa detik. Sementara pikiran mereka masing-masing menerka apa kelanjutan percakapan mereka.
Apa kau tahu aku mencintaimu?” tampak kalimat itu berat untuk diungkapkan. Seberat desakan kuat yang tiba-tiba menyesakkan dada Zaniya selepas mendengar kalimat barusan.
Tidak, kan?” sekuat tenaga Zaniya menahan diri untuk tak menangis. Ia tahu benar apa yang sedang terjadi sekarang. Pertempuran batin, ia dengan dirinya sendiri. Untuk melanjutkan pembicaraan ini atau tidak. Hening sejenak.
Apa aku pernah bilang tidak?” Laki-laki itu, matanya berkaca-kaca. Jelas sudah suaranya bergetar. Kepalanya merunduk mencari celah untuk menatap mata Zaniya. Yang ditatap tak henti menunduk. Sepertinya tanah tercover rumput hijau di bawah kakinya adalah hal paling menarik yang menyita perhatiannya. Tak hendak menoleh ke arah lelaki yang menjajarinya duduk di bangku taman itu. Pikirannya masih terngiang kalimat Azril barusan. Dejavu!
Zaniya, kenapa baru sekarang kau menyinggung tentang ini? Setelah hari pernikahanmu tinggal satu bulan lagi.” nada bicara Azril mulai datar. Meski gemuruh rasa dalam hatinya belum juga mereda. Yang ada dalam ambang bayangannya sekarang hanya satu: dia akan kehilangan wanita yang selama ini diharapkannya. Bukan hal mudah memang untuk meredakan letupan rasa khawatir itu sekarang. Sama halnya bukan dalam waktu sebentar ia menyiapkan diri untuk mengatakan perasaannya pada Zaniya. Menyiapkan diri. Karena ia tahu, urusan dengan Zaniya bukan hanya butuh pernyataan, tapi juga bukti berupa tindakan yang bertanggung jawab: menikahinya. Dan memang itu pula yang selama ini masih disiapkan Azril, segala kesiapan untuk menikahi Zaniya. Itu pula yang membuatnya menunda untuk mengungkapkan perasaannya pada Zaniya. Tanpa ia tahu sebelumnya bahwa penundaan itu membawanya pada suasana sore ini.
Azril.” Penuh penekanan, meski suaranya tak nyaring. Bukan karena khawatir suaranya didengar orang-orang yang lalu lalang di taman kota itu, tapi lebih karena menahan gemuruh perasaannya sendiri. Zaniya menatap lelaki yang duduk satu meter di sampingnya. Menemukan tatapan Azril yang meluluhkan. Mata Zaniya sendiri berkaca-kaca. “Apa pernah kau bilang padaku? Apa pernah kau memintaku? Apa pernah sekalipun kau menyinggung perasaanmu padaku atau perasaanku padamu?” Mengambil nafas dengan berat seolah oksigen di taman hijau sejuk itu hanya tersedia dalam jumlah terbatas. Zaniya melanjutkan klaimnya. “Kau memang tidak pernah mengatakan tidak. Tapi tak ada juga kata iya darimu. Kau hanya berani bersembunyi. Dan sekarang apa salahku kalau aku sudah memutuskan dengannya?” Menetes akhirnya, bulir bening di mata Zaniya. Sembari ia terus berpikir, apa benar ia harus menangisi ini. Bertahun-tahun ia berhasil menahan perasaannya dan sekarang justru pada detik-detik menjelang terlaksananya keputusan besarnya, ia menangisi perasaan itu.
Aku masih menyimpannya.” Sekarang ganti Azril yang tak mampu lagi menatap wanita cantik di sebelahnya. Berusaha setenang telaga di hadapannya. “Aku menunggu saat yang tepat…”
Sampai akhirnya kau lihat sendiri, saat yang tepat yang masih kau tunggu itu, ternyata tidaklah tepat.” Daun-daun kering berguguran dari rantingnya. Diterpa angin sore yang mulai mendinginkan alam. Bukan salahnya angin pasti, hanya karena begitulah memang Tuhan mencipta rencana-Nya, dengan segala sebab akibat yang bertautan, peristiwa itu menjadi bermakna. Dua anak manusia itu tidak sadar, dalam diamnya masing-masing, mereka tengah menatap dan memikirkan hal yang sama. Daun itu pun telah tertulis takdirnya kapan saatnya ia akan gugur. Masing-masing mereka bahkan telah faham teori itu. “Aku sudah memutuskan. Tidak ada yang akan berubah kecuali dengan rencana Tuhan.” Azril masih diam menatap danau tenang di hadapannya. “Aku menemuimu hanya untuk bertanya tentang Raffa, tentang masalah yang sedang dihadapinya sekarang, karena kuanggap kau teman yang banyak tau tentangnya. Hanya itu. Jika tidak ada jawaban untuk pertanyaanku, ya sudah. Tidak perlu ada banyak hal lain di luar keperluanku yang kudengar. Aku pulang, Azril.” Zaniya beranjak dari duduknya. Membenahi jilbab birunya yang berkibar diterpa angin.
Zaniya.” Azril menoleh ke arah Zaniya, hanya saja pandangannya terarah ke rumput hijau tanpa hendak menatap sosok yang akan pergi itu. Zaniya menghentikan langkah tanpa menoleh kembali. “Menikahlah dengannya. Dia temanku yang baik.” Seulas senyum mengiringi ucapannya, meski Zaniya tidak melihatnya.
Berlalu angin menerpa, mengiringi langkah Zaniya meninggalkan Azril sendirian di bangku taman. Sepi. Matahari hampir tenggelam. Mereka sama merasa, baru saja mengakhiri pertemuan sore itu dengan tepat.